ARTIKEL

22

Sep 18

The Da Vinci Code : Antara Data, Dongeng, dan Dusta

-

Pdt. Ruslan Christian

Pendahuluan

The Da Vinci Code (TDVC) adalah sebuah novel yang pernah menjadi best-seller di pelbagai toko buku di AS sejak diterbitkan Doubleday pada April tahun 2003. Novel ini merupakan karya ke empat dari Dan Brown setelah Digital Fortress (bestselling nasional pertama eBook), Deception Point, dan Angels and Demons. Pada penjualan perdananya, novel ini langsung meraih sukses yang tidak pernah terjadi pada novel lain, menjadi Bestseller The New York Times, bersamaan dengan bestseller pada The Wall Street Journal, Publishers Weekly, dan San Francisco Chronicle. TDVC juga pernah menduduki peringkat bestseller di semua toko buku negara AS. Pada pertengahan Oktober 2003, novel ini menjadi bestseller lebih dari 28 minggu pada daftar The New York Times. Di Indonesia, buku ini dicetak pada Juli 2004 oleh penerbit PT Serambi Ilmu Semesta dan dalam waktu enam bulan saja sudah mencapai cetakan kesepuluh. Pada awal 2006, edisi bahasa Indonesia sudah mencapai cetakan ke delapanbelas. Hingga Mei 2006 diperkirakan TDVC telah terjual sekitar 40 juta eksemplar. 
Paling sedikit ada dua faktor yang mendongkrak daya pikat novel ini. Pertama, kepiawaian Dan Brown mengolah alur ceritanya. Sesuai dengan karakteristik novel posmodern, Brown mengolah data-data yang ada atau pernah ada dalam sejarah, memfiksikan menurut imajinasinya, serta memanipulasi data-data tersebut. Dengan kata lain, ia meramu novel kontroversial ini dengan data, dongeng dan dusta. 
Kedua, faktor kekontroversialan dari cerita misteri ini. Ia menampilkan beragam tokoh yang ada dalam sejarah dan mempresentasikannya menurut khayalannya. Salah satu figur penting yang ditampilkan adalah Yesus Kristus, dimana Sang Juruselamat dikarikaturkan oleh Brown sebagai ”Yesus” yang menikah dengan Maria Magdalena. 
Upaya memperolok-olok dan mengarikaturkan Yesus sudah terjadi sejak Ia datang ke dalam dunia ini kurang lebih dua ribu tahun lalu. Yesus pernah diejek, diludahi, dan dipukuli di dalam pengadilan orang Yahudi. Ia juga pernah diolok-olok di hadapan Herodes dan Pilatus. Saat Ia disalibkan, para prajurit Romawi

dan para pemimpin Yahudi mengolok-olokNya, bahkan kedua penjahatpun ikut mengejekNya. Akhirnya, hukuman penyaliban merupakan penghinaan paling dahsyat yang dialamiNya. 
Pengejekan terhadap Yesus terus berlangsung di sepanjang sejarah dunia oleh orang-orang yang memusuhi Dia. Hugh Schonfield pada tahun 1966 membuat cerita “The Passover Plotter” tentang “Juruselamat” palsu yang membuat rencana busuk skenario Golgota. Buku Nikos Kazantzakis, “The Last Temptation of Christ” yang kemudian difilmkan, menggambarkan Yesus sebagai sasaran cemoohan Paulus. Lalu “Jesus The Radical Revolusionary” oleh SGF Brandon, dan “Christ The Master Magician” karya Morton Smith. Pada tahun 1980an muncul “Holy Blood, Holy Grail” karya Baigent, Lincoln, dan Leigh. Sekarang, TDVC menambah deretan karya yang memperolok-olok Yesus. 
Novel yang laris-manis ini sedang diadaptasi ke dalam film oleh Columbia Pictures, dengan Tom Hank sebagai pemeran utama, dan disutradarai oleh Ron Howard (A Beautiful Mind). Film TDVC telah terpilih menjadi film pembuka dalam Festival Film Cannes ke-59, pada 17 Mei 2006. Pada tanggal 19 Mei 2006, film tersebut diputar serentak di seluruh dunia. 
Novel yang ditulis oleh bekas guru bahasa Inggris ini bercorak misteri pembunuhan dan thriller yang memikat pembaca dari satu bab ke bab lainnya, dengan beragam teka-teki, data sejarah, karya seni, arsitektur, keagamaan, dsb. Alur ceritanya dimulai dengan peristiwa pembunuhan Saunire, kurator senior di Museum Louvre, dengan meninggalkan beragam kode yang menjadi rangkaian misteri yang perlu dipecahkan. Tokoh utama yang terlibat dalam kisah ini, Robert Langdon, pakar simbologi Harvard dan Sophie Neveu (= ”Kearifan Baru,” nama yang tidak kebetulan dipilih penulisnya), kryptolog berbakat Prancis. Dalam alur thriller ini, Brown dengan cerdik dan piawai mengemas khayalannya dengan memanfaatkan beragam data dari pelbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, dan interpretasi menurut kehendaknya sendiri. 

Sebagian pembaca memuji novel ini sebagai luar biasa, sebagian lagi bersikap tidak acuh, sedangkan sebagian orang Kristen nampak menjadi bingung karena novel ini. Tulisan ini merupakan suatu upaya mengkritisi novel
tersebut dari perspektif iman Kristen.

1. Tinjauan Bibliologis

Melalui TDVC, diakui atau tidak, Brown menyerang pada fundamental sistem kepercayaan Kristen. Alkitab yang menjadi dasar iman dan patokan tingkah laku Kristen dipertanyakan dan diragukan kredibilitasnya. 

1.1. Menurut Brown, Alkitab adalah buatan manusia, bukan Tuhan. Hanya catatan sejarah yang melibatkan penerjemahan, penambahan dan revisi tak terhitung. Sejarah tidak pernah mempunyai versi pasti buku ini (hal. 323).

Fakta: Pandangan tokoh Teabing ini berdasarkan teologi modern atau teologia historis-kritis. Dalam membangun teologinya, para teolog modern mendasarkan gagasannya pada seperangkat presuposisi filsafat Pencerahan. Salah satu presuposisinya adalah “Alkitab buatan manusia belaka dan tidak ada campur tangan Ilahi.” Corak pemikiran yang berasal dari filsafat Pencerahan ini menempatkan manusia dan akalnya sebagai pusat segala sesuatu. Kritik Sastra yang menjadi salah satu hasilnya, melihat sejarah tidak memiliki kepastian, khususnya periode waktu antara tradisi lisan Perjanjian Baru (PB) dan tulisan PB. Padahal jangka waktu antara beredarnya tradisi lisan dan tradisi tulisan hanya berjarak kira-kira 25 tahun saja. Jadi sebenarnya Alkitab sangat dapat dipercaya, bukan hasil rekayasa yang sembrawut. 

1.2. Menurut Brown, Dead Sea Scrolls ditemukan tahun 1950an dan dipandang sebagai kitab yang mengabsahkan “injil-injil” (hal. 327).

Fakta: Dead Sea Scrolls (Gulungan Laut Mati) ditemukan bukan tahun 1950an, melainkan pada Pebruari atau Maret 1947 secara kebetulan oleh seorang gembala kambing Beduin. Naskah-naskah tersebut terdiri dari + 40.000 fragmen. Naskah-naskah ini tidak memuat Injil, tidak ada berbicara tentang Yesus, dan sama sekali tidak berbicara tentang kekristenan. Naskah dari masyarakat Yahudi yang hidup tahun 150 sM-70 M ini, sebagiannya hanya menyangkut naskah Perjanjian Lama (PL). Brown keliru mengaitkan Naskah Laut Mati dengan Injil yang kita miliki sekarang. 

1.3. Brown melalui tokoh fiksinya mengatakan, Gulungan Koptik Nag Hammadi (NH) ditemukan tahun 1945 sebagai sumber kisah Grail (Cawan Perjamuan Terakhir) sejati dan berbicara tentang kependetaan Yesus secara
manusiawi (hal. 327). Lalu naskah NH dan Gulungan Laut Mati, dipandang sebagai ”catatan Kristen paling awal....tidak sesuai dengan Injil” (hal. 342). Brown mendasari pandangannya tentang Yesus berdasarkan kitab NH yang bercorak gnostis, Injil Filipus, dan Injil Maria. 

Fakta: Pandangan di atas tidak benar karena ada dua alasan pokok. Pertama, Naskah salinan PB jauh lebih awal dan tua dibandingkan dengan naskah NH (catatan: Naskah NH ditemukan bulan Desember 1945, satu tahun sebelum penemuan Gulungan Laut Mati. Tiga bersaudara miskin menemukannya saat menggali dasar karang terjal untuk mendapatkan tanah yang kaya nitrat untuk penyubur, di karang terjal Jabal al Tarif, kira-kira 10 km Timur Laut Nag Hammadi. Karena kemiskinan, ibu mereka membakar sebagian naskah tersebut, dan sebagian lagi berulangkali berpindah tangan dari makelar ke makelar pasar barang antik hingga akhirnya disimpan di Museum Koptik, Mesir. NH terdiri dari 11 kodeks atau manuskrip berbentuk kitab, dan 2 fragmen). Penulisan dan peredaran PB antara tahun 50 M-170 M. Naskah-naskah salinan PB yang kita miliki sangat dekat dengan peristiwa kehidupan Yesus dan para rasul. Potongan salinan naskah tertua adalah dari Injil Yohanes 18:31-33, bertanggal 117-138 M. Sedangkan naskah salinan NH jauh sesudahnya, yakni pada abad ke 3-4 M (ini naskah salinannya, sedangkan naskah asli diperkirakan pada akhir abad 2 M).
Perlu diketahui bahwa keseluruhan naskah NH bukan merupakan perpustakaan dari satu sekte masyarakat religius sebab NH terdiri dari teks-teks non-Gnostik, non-Gnostik Kristen, dan Gnostik Kristen. Dengan kata lain, terdiri dari beragam bentuk sastra. Sebab itu kemungkinan besar kumpulan tulisan NH berasal dari beberapa biara Kristen di daerah itu, yang dikubur oleh biarawan secara tergesa-gesa sebagai respon menyingkirkan buku para bidat yang dilarang pada masa Athanasius (367 M). Tidak ada bukti bahwa ada komunitas Gnostik di daerah itu. 
Patut diperhatikan bertalian dengan kaum Gnostik, tidak ada naskah Gnostik bertanggal abad 1 M. Semua naskah Gnostik
yang ada kini bertanggal antara abad 2-3 M. Ben Witherington III, pakar PB, mengatakan tidak ada bukti bahwa Gnostisisme eksis sebelum paro kedua abad kedua. Sebab itu, naskah salinan PB yang memiliki kredibilitas menjelaskan riwayat Yesus, bukan naskah NH yang Gnostis dan jauh lebih muda itu. 
Kedua, gagasan PB yang mempengaruhi pandangan kaum kaum Gnostik dalam naskah NH, bukan sebaliknya. Ini sebagai konsekwensi logis dari usia salinan naskah PB yang jauh lebih awal dibandingkan naskah NH. Ide-ide PB yang mempengaruhi dan diubah oleh kaum Gnostik. Ladd mengatakan tidak ada bukti bahwa konsep ”penebus surgawi” terdapat dalam gnostik pra-Kristen. Gagasan tentang ”penebus” yang turun-naik surga baru muncul dalam Gnostisisme-Akhir pada abad 3 M atau pasca-Kristen. Contoh lain, konsep ”eskenosen” (tabernakel) dalam naskah Yunani Yohanes 1:14 mempengaruhi dan diadopsi Apokaliptik dari Adam dan Parafrase dari Sem dalam naskah NH. Juga konsep tentang ”gnosis” dan ”sophia.” Injil Filipus sendiri berisi kutipan dari surat Paulus dan Yohanes. 
Nampaknya buku Elaine Pagel, ”The Gnostic Gospel,” yang mengulas naskah kaum Gnostik; dan praduga gnostis dalam novel ”Holy Blood, Holy Grail” (1982) yang menjadi akar pandangan Brown tentang garis keturunan Yesus dengan Maria Magdalena. Sebab itu, sangat menyesatkan jika gagasan tentang pribadi dan karya Yesus digambarkan menurut filsafat Gnostisisme yang muncul pada pasca-Kristen. 

1.4. Brown di dalam TDVD mengatakan bahwa PB terdiri lebih dari delapanpuluh ajaran, hanya sedikit yang dipilih untuk dicantumkan (hal. 323).

Fakta: PB yang memiliki 5000-5300 potongan salinan naskah Yunani dan 20.000an salinan bahasa lain, tidak terdiri dari banyak Injil seperti dipradugakannya. Dipandang beragam oleh Dan Brown karena dicampuradukkan dengan naskah-naskah jauh sesudah periode PB atau para rasul. Injil-injil kaum Gnostik dan Injil Filipus bukan Injil sesungguhnya. Sedangkan Injil Maria kemungkinan besar bukan bagian kumpulan naskah NH dan merupakan produk kaum Gnostik yang muncul pada awal abad ketiga masehi. Sebaliknya, keempat Injil
(Markus, Matius, Lukas dan Yohanes) yang menjadi fondamen dokumen PB. Eusebius mengatakan bahwa keempat Injil menjadi pusat dari kanon PB dan kanonisasinya berdasarkan peredaran yang luas dalam gereja awal di pusat-pusat kekristenan Yerusalem, Antiokhia, Aleksandria, dan Roma. 

1.5. Novel TDVC mengatakan, ”tak ada yang asli dalam Kristen melainkan dari paganisme (hal. 324-325).

Fakta: Kekeliruan pandangan itu mirip (atau dipengaruhi?) dengan kesalahan presuposisi teolog modern seperti Bultmann. Bultmann, sebelum penemuan NH sudah mempradugakan bahwa kekristenan tumbuh-kembang seperti agama-agama lain, melalui proses evolusi, dimana kekristenan berinteraksi dengan beragam kepercayaan konteksnya. Lalu kekristenan dipresuposisikan berasal atau dipengaruhi gnostisisme. Di sisi lain, Bultmann dan Dibellius mempradugakan bahwa kekristenan awal tertutup atau tidak terakses oleh ajaran lain. Ini pandangan yang tidak konsisten. Berdasarkan pandangan kedua itu seharusnya tidak mungkin kekristenan berasal dari atau dipengaruhi Gnostisisme dan paganisme seperti yang juga dipradugakan Dan Brown. Selain itu, orang Kristen mula-mula menderita penganiayaan hebat akibat pengakuannya bahwa Yesus satu-satunya Tuhan, dan menolak keilahian kaisar atau keyakinan paganisme. Jadi tidak mungkin kekristenan berasal dari Gnostisisme atau paganisme. 

1.6. Menurut TDVC, PB ditetapkan dalam konsili Nicea karena keputusan politik Konstantin, untuk “meningkatkan status Yesus…seakan Tuhan” (hal. 324-325). 
Pusat pembahasan pada Konsili Nicea bukan penetapan kanon Alkitab. Pernyataan bahwa ke 27 kitab PB sebagai kanonik dimulai oleh Athanasius (367 M), Konsili di Roma (382 M, di Barat), Konsili di Kartago (397 M, di Timur), dan Paus Innocent I (403 M, di Barat). Selain itu, mustahil Konstantin memiliki kuasa menetapkan kanon PB karena ia baru mengontrol pemerintahan sepenuhnya pada tahun 324 M, menjelang Konsili Nicea (325 M). PB tidak ditetapkan karena keputusan Konstantin.

1.7. Menurut novel ini, Nuh seorang albino (hal. 234). 

Fakta: Tidak ada catatan Alkitab bahwa Nuh seorang albino. 

1.8. Menurut Brown, orang-orang Yahudi awal percaya bahwa Ruang Mahakudus di Kuil Salomo tidak hanya
berisi Tuhan, tetapi juga perempuan kuat imbanganNya, Shekinah. Lelaki yang mencari keutuhan spiritual datang ke kuil itu untuk mengunjungi pendeta perempuan – atau hierodules – untuk bercinta dengannya dan merasakan Tuhan melalui penyatuan badani.. (hal. 432). 

Fakta: Ini menggelikan karena bersifat fantasi dan dusta, bukan fakta. Sebab kepercayaan Yahudi dari azalinya bersifat monoteistis, kepercayaan kepada Allah yang Esa (ingat iman Abraham). Ini sumbangsih Yahudi bagi dunia ini. Mereka juga tidak memiliki istilah bagi dewi karena memang tidak ada kepercayaan demikian. Shekinah adalah kemuliaan Allah yang menyertai kehadiranNya, bukan pasangan Ilahi.

1.9. Praduga Brown, tetragam Yahudi YHWH – nama suci Tuhan –sebetulnya berasal dari Yehovah, sebuah penyatuan badani androginius antara Yah dan yang lelaki dan nama pra-Yahudi bagi Eva, Havah (hal. 433).

Fakta: YHWH berasal dari bahasa Ibrani dalam bentuk huruf mati, kemudian dalam Masoretik memakai konsonan menjadi Yehovah. Ini menunjuk self-Existent atau KekekalanNya. Para rabi Yahudi kemudian melarang penyebutan nama ini lalu menambahi dengan vowel menjadi Yehovah. Kata “Yah” adalah bentuk pendek dari YHWH (haleluyah berarti “Puji Yah”). Sedangkan kata ”hawa” adalah bentuk kuna dari kata ”haya,” yang berarti ”ada, menjadi, terjadi.” Jadi makna kedua kata itu bukan seperti khayalan Brown yang bermental posmodern. 

Dengan demikian seluruh pandangan Brown yang kontroversial tentang Alkitab bersifat khayal belaka dengan cara mempermainkan data-data yang ada. Sebaliknya kredibilitas Alkitab sudah teruji dan dapat kita andalkan sebagai dasar iman dan perbuatan kita.

2. Tinjauan Kristologis

Alkitab menyatakan bahwa Kristus adalah Allah-Manusia Sejati dan sebaliknya Kristus menyatakan otoritas Alkitab. Kristus dan Alkitab “jatuh bangun” bersama-sama. Maksudnya, jika Alkitab dapat diandalkan kebenarannya, berarti Kristus yang diberitakan Alkitab juga bisa dipercaya. Sebaliknya, jika Alkitab tidak dapat dipercaya, maka kita juga tidak memiliki dasar beriman kepada Kristus. Selanjutnya, jika pribadi dan karya Kristus bisa diandalkan kebenaranya, maka Alkitab juga bisa dipercaya sebab Kristus
sendiri mengakui Alkitab sebagai firman Allah. Dan sebaliknya juga demikian. Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan sungguh dapat kita percaya sepenuhnya. 

2.1. Menurut versi TDVC PB ditetapkan dalam konsili Nicea karena keputusan politik Konstantin, untuk “meningkatkan status Yesus…seakan Tuhan” (hal. 324-325). Padahal, menurutnya, orang Kristen abad pertama tahu Yesus manusia biasa. Ini keputusan politis, mengambil keuntungan dari pengaruh Yesus untuk menjadi alat legitimasi kekuasaan gereja dan negara. Menurutnya sudah ada ribuan dokumen yang mencatat Yesus manusia biasa (hal. 327). 

Fakta: Pokok perdebatan konsili Nicea (Juni 325 M) bukan soal Konstantin meningkatkan status Yesus menjadi Tuhan, melainkan soal ajaran Arius, yang mengajarkan bahwa hanya Allah Bapa sebagai Allah, sedangkan Anak Allah hanya ciptaan dari yang tidak ada, dan melaluiNya Allah menciptakan dunia. Bagi Arius Yesus memiliki awal dan tidak kekal. Pandangan ini diteruskan oleh Saksi Yehovah pada masa kini. Konsili mengutuk Arius, menyusun Pengakuan Iman Nicea (anti Arius), dan ketiga Pribadi Tritunggal dipandang sehakekat. Jadi pusat perdebatan ada pada KeIlahian Kristus dalam relasi dengan Bapa, bukan mengesahkan KeIlahian Kristus. Sebab pengakuan iman tertua bahwa Yesus adalah Tuhan sudah ada bersamaan dengan lahirnya kekristenan pada abad pertama (1 Kor. 12:3, diperluas dalam Roma 1:3; Fil. 2:5-11), jauh sebelum masa Konstantin (313-337M). Jadi tidak benar jika dikatakan orang Kristen awal menerima Yesus hanya manusia belaka, melainkan telah melihat, mengalami dan mengakui KeIlahian Kristus sebagai Mesias yang dijanjikan. 

2.2. Praduga TDVC adalah Gereja… harus meyakinkan dunia bahwa nabi yang dapat mati itu, Yesus, adalah seseorang yang memiliki sifat Tuhan…segala ajaran yang menjelaskan aspek keduniaan dari kehidupan Yesus harus dihilangkan dari Alkitab (hal. 340). 

Fakta: Alkitab tidak menghilangkan sifat kemanusiaan Yesus, bahkan sebaliknya menunjukkan kesempurnaan kemanusiaanNya secara utuh. Ia dikandung dan lahir dari anak dara Maria, Ia mengalami proses pertumbuhan sebagaimana lazimnya manusia, Ia memiliki keterbatasan sebagai manusia (keletihan, rasa haus dan
lapar, sedih, menangis, dan mati). Namun Yesus adalah Manusia sempurna tanpa dosa, dan juga Allah Sejati. 

2.3. Menurut tokoh dalam novel ini, “Yesus dan Maria adalah pasangan suami isteri” (hal. 340). 

Fakta: Teori yang menyesatkan tentang pernikahan dan keturunan Yesus dengan Maria Magdalena ini pertama kali muncul pada abad 9 M. Menurut Holy Blood, Holy Grail – sumber teori TDVC – Maria mengandung bayi dari Yesus, mengungsi ke Prancis, lalu melahirkan Sarah, yang menjadi nenek moyang dinasti Merovingian di Prancis. 
PB tidak mengindikasikan bahwa Yesus menikah. Tradisi para bapa apostolik juga tidak mengatakan demikian, bahkan kitab apokrifa juga tidak. Satu asumsi menyesatkan dimasukkan Brown bahwa seorang pria Yahudi harus menikah menurut tradisi para rabi. Ini tidak benar sebab justru sebaliknya tradisi para rabi menjamin kehidupan tidak menikah, bahkan semua sub-kelompok dalam Yudaisme mempraktekkan selibat, seperti kelompok Esene dan Pengobatan Mesir yang dikenal Philo. Yeremia dan Yohanes pembaptis juga tidak memiliki isteri. Demikian pula Paulus (1 Kor. 9:5). Jika Yesus menikah maka tentu Paulus tidak menghunjuk pada Petrus saja, tapi juga Yesus, Pribadi yang berotoritas. Tradisi dalam sejarah gereja tidak mengindikasikan bahwa Yesus menikah dan memiliki keturunan. 

2.4. Brown mendasari teori pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena berdasarkan the Gospel of Philip dan the Gospel of Mary Magdalene. “Injil Philip selalu awal yang baik ….Kristus mencintainya lebih daripada cintaNya kepada seluruh muridnya, dan Yesus sering menciumnya di mulut. Murid-murid yang lain tersinggung karenanya, dan mengungkapkan ketidaksetujuan mereka...” (hal. 342).

Fakta: Ada beberapa kesalahan dalam praduga ini. 
Pertama, frasa NH yang ditafsirkan Brown banyak berisi tanda [ ] yang berarti ada kekosongan teks. Jika di dalamnya berisi tiga titik berarti teksnya tidak bisa direkonstruksi. Kata ”sering” sebenarnya bertanda [ ], sedangkan kata ”mulut” bertitik tiga seperti ini [... ] menunjukkan adanya penyisipan kata yang banyak variasi. 
Kedua, Injil Filipus
tidak dapat diandalkan. Injil ini mengajarkan bahwa keselamatan dicapai melalui pemahaman atas diri sendiri dan menolak kebangkitan Yesus secara jsmani..
Ketiga, makna teks ini, lebih tepat ciuman kudus/spiritual antar orang percaya (bd. 1 Kor. 16:20; 1 Tes. 5:26; 2 Kor. 13:12; Rom. 16:16; 1 Ptr. 5:14) mengingat kaum Gnostik bersifat asketis dan menolak pengagungan hal lahiriah-jasmaniah, termasuk berciuman dalam arti jasmaniah. Cium kudus dalam Alkitab berarti ucapan selamat dalam relasi antar orang percaya sebagai sesama anggota keluarga Allah.
TDVC juga menunjukkan kekonyolan ketika mengharmonisasikan dua pandangan yang saling berlawanan: Gnostisisme dan paganisme. Gnostisisme menolak segala kebaikan yang bersifat jasmaniah, termasuk hubungan seks, dan menekankan hanya aspek rohani. Sebaliknya, paganisme sering mengaitkan keyakinannya dengan aspek jasmani, termasuk ritual seksual. Upaya harmonisasi ini jelas tidak masuk akal karena keduanya berkontradiksi. 
Sosok ”Yesus” yang dikhayalkan dan dicipta oleh Dan Brown tidak memiliki landasan sejarah dan data yang kokoh, dan hanya spekulasi di antara sekelompok orang saja. Hanya Yesus sebagaimana yang dinyatakan oleh Alkitab saja yang riil, dapat kita andalkan dan alami dalam kehidupan ini. 

3. Tinjauan Sejarah Gereja


3.1. Maria Magdalena. 

TDVC menggambarkan Maria Magdalena sebagai kekasih atau isteri Yesus, lalu disingkirkan karena sistem patriarkal gereja, dan sebaliknya kaum Gnostik sangat menghargainya. 

Fakta: Alkitab tidak mengindikasikan sedikitpun bahwa Maria Magdalena adalah kekasih atau isteri Yesus. Lukas pertama kali menyebutnya dalam Lukas 8:1-3 dan ia bukan wanita berdosa dalam Lukas 7:36-50, sebab namanya tidak disebut dalam nas terakhir ini. Yesus mengusir roh-roh jahat dari dirinya, sehingga devosinya terhadap Yesus sangat mendalam. Bersama dengan para wanita lain dan para rasul, ia mengikuti Yesus dari satu tempat ke tempat lain dan mendukung pelayanan Yesus (Luk. 8:1-3). Dia turut saat Yesus menuju Yerusalem (Mat. 27:55), hingga penyaliban dan penguburan Yesus, sedangkan para murid melarikan diri (Mark. 15:47). Pada hari kebangkitan Yesus, ia salah satu

dari wanita yang menuju ke kubur Yesus (Mat.28:1; Mark.16:1). Ia menyaksikan kubur Yesus yang kosong dan memberitahukan kepada Petrus dan Yohanes (Yoh. 20:2). Ia kembali ke kubur dan bertemu dengan Yesus yang bangkit. Yesus melarang menjamah atau menahanNya sebab Ia harus kembali ke sorga. Yesus menyuruhnya memberitahukan kabar kebangkitan kepada para murid (Yoh. 20:17) dan Maria menaatiNya. Jadi tidak ada indikasi sedikitpun bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena. 
Alkitab menghargai baik pria maupun wanita sebagai ciptaan Allah. Tidak ada diskriminasi jender, khususnya terhadap kaum wanita. Bahkan Alkitab menghargai peran Maria Magdalena dan para wanita yang mengikut Yesus dengan menceritakan realita itu sebagaimana adanya, sekalipun tidak lazim pada masa itu kaum pria dan wanita pergi bersama-sama. Ini pendekatan baru dari Yesus dan penghargaanNya terhadap kaum wanita. Demikian pula para rasul (pria) tidak mempunyai sikap meremehkan kaum wanita, termasuk terhadap Maria Magdalena. Pada abad ketiga, Hippolitus, seorang bapa gereja, menyebut Maria Magdalena sebagai ”rasul atas para rasul.” 
Sebaliknya, kaum Gnostik yang meremehkan kaum wanita sebab dalam literatur mereka Maria Magdalena digambarkan sebagai ”membuat dirinya menjadi laki-laki,” atau tidak berjender sebagai prasyarat untuk menerima wahyu khusus dari Yesus. Hal ini menunjukkan Gnostisisme meremehkan kaum wanita. Ini kekacauan dalam konsep TDVC.

3.2. Konsili Nicea

Brown beranggapan, konsili Nicea untuk “meningkatkan status Yesus…seakan Tuhan” (hal. 327) dan merupakan keputusan politik Konstantin. Menurutnya, orang Kristen abad pertama tahu bahwaYesus manusia biasa, lalu konsili ini dipandang sebagai langkah politis untuk mengambil keuntungan dari pengaruh Yesus dan melegitimasi kekuasaan gereja dan negara. 

Fakta: Pokok perdebatan konsili Nicea (Juni 325 M) bukan soal Konstantin meningkatkan status Yesus menjadi Tuhan, melainkan soal ajaran Arius seputar hubungan KeAllahan dalam Tritunggal. Konsili mengutuk Arius dan menyusun Pengakuan Iman Nicaea (anti Arius). Ketiga pribadi Allah dipandang sehakekat. Lihat uraian tentang Tinjauan Kristologis, nomor 2.1.

3.3. Konstantin

Dalam TDVC
Konstantin dipandang bukan seorang Kristen, melainkan seorang pagan seumur hidupnya dan pendeta kepala kelompok pemujaan Sol Invictus, atau Matahari Tak Tertandingi. Tiga abad setelah penyaliban Yesus Kristus, para pengikut Kristus tumbuh berlipat-lipat. Kaum Kristen dan pagan mulai berperang, dan konflik itu tumbuh sedemikian besar sehingga mengancam akan membelah Roma menjadi dua. Pada tahun 325 M, Konstantin memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal. Kristen (hal. 324). 

Fakta: Memang ada beragam isu seputar kehidupan Konstantin. Misal, apakah Konstantin sungguh menjadi Kristen atau hanya Kristen nominal, dan keputusannya menjadikan agama Kristen sebagai agama negara berdasarkan alasan politis atau tidak. Namun sangat jelas, sama sekali tidak ada upaya penghapusan kepercayaan bahwa Yesus hanya manusia belaka lalu dijadikan Tuhan. Jadi isu-isu kontroversial dalam sejarah tidak boleh ditambah-tambahi, ketidakjelasan direkayasa ke arah yang salah, apalagi sejarah dibelokkan menurut imajinasi manusiawi. Ini menjadi dusta, bukan fakta sejarah. 
Selain itu, dengan khayalannya, Brown memberi penghargaan yang terlalu tinggi terhadap kekristenan pada era sebelum Konstantin. Ini suatu hal yang berkontradiksi dengan realita sejarah. Sebab orang Kristen teraniaya secara dahsyat saat itu. Tahap pertama di kota Roma tahun 64 M atas perintah Nero. Tahap kedua sekitar tahun 250 M, dimana negara sendiri mengambil inisiatip dan bersifat sistematis, pemimpin utamanya adalah kaisar Decius (250 M) dan Diocletianus (300 M). Alasan penganiayaan, memanfaatkan agama untuk mempersatukan penduduk dan meredakan murka para dewa dalam peperangan. Sasaran utamanya adalah para uskup (Roma, Antiokhia, Yerusalem). Jadi orang Kristen bukan mayoritas yang melawan paganisme (saling berhadapan). Permusuhan itu dari satu sisi saja dan orang Kristen sebagai pihak teraniaya.

3.4. Brown mengatakan dalam novelnya, “Kristen menghormati Sabat Yahudi pada hari Sabtu, tapi Konstantin menggesernya agar bertemu dengan hari kaum pagan memuliakan matahari…Hingga hari ini, kebanyakan jemaat gereja menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka sedang melakukan penghormatan mingguan
pada dewa matahari kaum pagan – Sun-day, hari matahari” (hal. 325). 

Fakta: Ibadah gereja mula-mula jatuh pada hari Minggu muncul sebagai dampak kebangkitan Kristus, bersamaan dengan kehadiran gerejaNya, dan jauh sebelum masa pemerintahan Konstantin. Pandangan Brown menyesatkan sebab Surat Barnabas dan Didache (90-115 M, doktrin ke 12 rasul) mengatakan kaum Kristen beribadah Hari Minggu. Surat Barnabas mengatakan, “Kami merayakan hari yang kedelapan dengan sukacita, yang mana Yesus bangkit dari kematian.” Selain itu, pada pertengahan abad kedua, Yustinus Martir menulis, “Dan pada hari yang disebut ‘Hari Sol’ (Sunday/Hari Minggu) ada perkumpulan dari semua yang menetap di desa-desa atau di pedalaman. Kemudian, karangan para rasul atau karangan para nabi dibaca…ketika pembaca selesai, penilik menyampaikan pemberitaan, dimana kita dianjurkan untuk meniru teladan-teladan yang baik ini.” Fakta lain menunjukkan, pada tahun 196 M, Bardaisan dari Mesopotamia menulis, “Dan apa yang kami dapat katakan tentang ras baru, yaitu kami kaum Kristen, yang mana Yesus, pada waktu Ia datang, menanamnya di dalam tiap negara dan tiap daerah? …Pada satu hari, yaitu hari yang pertama, kami berkumpul bersama-sama..” Dengan demikian cikal-bakal ibadah hari Minggu bukan seperti yang dikhayalkan Brown, melainkan karena pengaruh peristiwa besar, kebangkitan Yesus dari maut.

4. Tinjauan Fakta Lain

4.1. Opus Dei

TDVC menggambarkan Opus Dei sebagai organisasi kebiaraan dimana anggotanya terdiri dari para biarawan. Salah satu rahibnya bernama Silas, seorang albino. 

Faktanya tidaklah demikian. Website Opus Dei membantah banyak hal yang salah dalam TDVC tentang beragam sisi dari organisasi tersebut. Opus Dei bukan tarekat biarawan, melainkan suatu lembaga Katolik yang anggotanya terdiri dari kaum awam dan para pastor, bukan suatu tatanan kebiaraan. Anggota yang berstatus pastor (imam) kurang dari dua persen. 
Opus Dei tidak mempraktekkan kehidupan yang menarik diri dari dunia ini seperti kehidupan monastis. Sebaliknya Opus Dei memberdayakan kaum awam bertumbuh dekat dengan Tuhan melalui aktivitas kehidupan
sehari-hari yang wajar. 
Sejumlah sangat kecil anggota Opus Dei menjalani kehidupan selibat agar mereka lebih memiliki banyak waktu untuk kegiatan Opus Dei. Namun tidak ada sumpah, jubah, tidur pada lapik kasar, doa atau meditasi sepanjang hari, dan pematian raga sebagaimana yang digambarkan TDVC. Sebagian besar anggotanya justru memiliki pekerjaan dengan beragam profesi sekuler pada umumnya. Fakta ini sangat bertolak belakang dengan Opus Dei yang digambarkan TDVC. 
Brown menggambarkan Opus Dei sebagai “sekte.” Lembaga Opus Dei membantahnya dengan menyatakan bahwa lembaga itu sepenuhnya terintegrasi secara utuh sebagai bagian gereja Katolik. Para anggotanya dibawah bimbingan pemimpin Opus Dei, sama seperti orang Katolik lainnya yang dibawah kepemimpinan Uskup. Pengajaran Opus Dei juga mengakui kesetaraan jender, bukan diskriminasi jender, seperti yang digambarkan dalam TDVC.

4.2 Biarawan Sion

Brown melukiskan Biarawan Sion (Priory of Sion) sebagai kelompok yang melindungi rahasia tentang keturunan Yesus dan Maria Magdalena dari generasi ke generasi sejak zaman Kristus. Dokumen-dokumen di reruntuhan Bait Suci dianggap membuktikan “rahasia besar” Yesus menikahi Maria Magdalena dan mempunyai anak yang bernama Sarah. Dinasti Merovingian, raja-raja Prancis, dianggap berasal dari keturunan Yesus dan Maria. 
Carl E. Olson dan Sandra Miesel, dalam buku ”The Da Vinci Hoax” menguraikan secara panjang lebar bagaimana dongeng dan rekaan yang penuh kerumitan dan kepalsuan tentang Biarawan Sion sejak zaman kuno hingga masa modern. Biarawan Sion pertama kali dipublikasi oleh penulis Prancis tahun 1960an, kemudian ke dalam dunia berbahasa Inggris pada tahun 1982, oleh penulis Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, dengan judul ”Holy Blood, Holy Grail.” Brown banyak dipengaruhi oleh buku ini, misalnya tentang perkawinan Yesus dengan Maria Magdalena, pewarisan darah suci perkawinan itu kepada dinasti Merovingian di Prancis. 
Namun buku-buku yang mengulas tentang Biarawan Sion tidak bersesuaian satu dengan lainnya dan masing-masing memiliki versinya sendiri. Menurut Olson dan Miesel, buku ”Holy Blood, Holy Grail” dan ”The Messianic
Legacy” mengungkapkan, berdasarkan dokumen yang diduga dari Biarawan Sion, tentang perkawinan Yesus dan Maria Magdalena. Sedangkan buku ”The Templar Revelation,” juga sumber gagasan Brown, menunjuk pada Yohanes Pembaptis sebagai Mesias sejati. Buku ”Holy Blood, Holy Grail” menciptakan bualan fantastis tentang dinasti Merovingian yang jauh dari kenyataan dengan mengagungkan mereka. Sebaliknya mereka justru senang kekerasan, poligami, dan semua naskah mereka ditulis dengan kaligrafi terburuk di dunia Barat. 
Pada masa kini, khayalan tentang Biarawan Sion dicipta oleh Pierre Plantard beserta rekan-rekannya. Olson dan Miesel mengatakan, Plantard memperkenalkan dirinya sebagai pakar Templar pada tahun 1979. Hal ini mempengaruhi Michael Baigent dan dua temannya untuk menulis buku ”Holy Blood, Holy Grail.” Namun pada tahun 1989, Plantard menolak dokumen lamanya, dan memperkenalkan sejumlah dokumen baru. Pusat pembahasannya juga berubah, dari harta misterius menjadi batu cadas misterius. Lalu tahun 1990, ia tidak lagi mengaku dirinya sebagai pewaris darah Merovingian. Jadi cerita di seputar Biarawan Sion penuh dengan kesimpangsiuran, ketidakjelasan, kepalsuan, dan cerita isapan jempol manusia. Bahan-bahan demikian yang diramu Brown untuk menghasilkan TDVC. 

4.3. Leonardo Da Vinci

Dalam TDVC, Leonardo Da Vinci dipandang sebagai salah satu Grand Master masa lampau, dari sederetan Grand Master di dalam organisasi Biarawan Sion. Pribadi dan karya Leonardo Da Vinci dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan beragam teka-teki yang menarik untuk dipecahkan. 
Kenyataannya, Leonardo Da Vinci memang orang yang sangat jenius, namun ia orang yang tidak berminat terhadap kepercayaan esoteris, pemujaan paganisme, dan hal mistis lainnya. 
Dalam lukisan Leonardo ”The Last Supper,” dipradugakan oleh TDVC bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan Maria duduk di sebelah kanan Yesus. Kenyataannya, yang berdekatan dengan Yesus dalam lukisan itu adalah Petrus, Yudas, dan Yohanes. Ketiganya memiliki peran dalam penyaliban Yesus. Rasul Yohanes yang berada di sebelah Yesus, bukan Maria Magdalena. 

5. Tinjauan Falsafah

TDVC adalah novel produk cara pandang Posmodernisme (bisa
menunjuk pada ideologi, filsafat atau sebagai tren zaman). Istilah Posmodernisme digunakan mulai dari bidang seni dan beragam bidang lainnya, misal sejarah, filsafat, dan lain sebagainya. Novel Posmodernisme juga memiliki ciri khusus. Beberapa karakteristik novel Posmodernisme tampak jelas dalam TDVC.

1. Posmodernisme memandang kata-kata tidak menyatakan makna/kebenaran, melainkan mengonstruksi makna/kebenaran. Kata-kata dianggap sebagai kebenaran ilusif, permainan kuasa yang menentukan kebudayaan. Setiap teks dipandang sebagai ciptaan politis, berfungsi sebagai alat propaganda, dan melestarikan status quo. Teks tersebut menyusun dan membenarkan rasisme, sexism, homophobia, imperialisme, opresi ekonomis, represi seksual sebagai superstruktur yang tersembunyi dari kebudayaan. Sebab itu kita lihat upaya Brown menolak “cerita besar” (paham besar yang mendominasi pemikiran) tentang sejarah dan kekristenan, iman kepada Yesus sebagai Tuhan, sejarah gereja seperti yang ada pada masa kini, keyakinan terhadap Alkitab, dan lain sebagainya.

2. Ideologi Posmodernisme merupakan ideologi yang muncul sebagai reaksi terhadap cara pandang modernisme dan kekristenan dalam melihat realita. Sikap antipati dan sentimen TDVC terhadap kekristenan tampak jelas pada bab-bab novel thriller ini. 

3. Novel modernisme berupaya mencapai level tertinggi dari realisme historis dan psikologis. Sebaliknya, Posmodernisme menampilkan kebenaran dari cerita hanya sebagai ilusi, efek diciptakan dengan manipulasi teknik dan kebiasaan untuk membuat agar cerita nampak riil. Cerita dalam novel tampak serealistis mungkin, namun novel tetap sebuah fiksi. Penulisnya berupaya mengaburkan batas antara kebenaran dan fiksi. Ide demikian tampil dalam komentar Brown pada halaman tentang “Fakta,” lalu permainan mencampur-adukkan data dengan fiksi serta dusta. 
Pada pertanyaan ”Sejauh mana novel ini benar?,” Brown mengakui bahwa karakter dan aksi dalam novelnya tidak riil, tapi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia yang digambarkannya eksis. Elemen-elemen riil ini diinterpretasikan dan diperdebatkan oleh karakter fiksi. Brown meyakini bahwa beberapa teori yang didiskusikan oleh para karakter ini memiliki kebaikan, setiap pembaca secara individual harus mengeksplor beragam karakter ini dan membuat interpretasinya masing-masing. Harapannya dengan
novel ini adalah agar cerita fiksinya melayani sebagai katalis dan batu loncatan bagi masyarakat untuk mendiskusikan topik-topik penting tentang iman, agama, dan sejarah. 
Menjawab pertanyaan, ”Tetapi bukankah halaman “Fakta” dari novel ini mengklaim bahwa setiap kata dalam novel ini sebagai fakta historis?” Penulis TDVC ini mengatakan, “Jika Anda membaca halaman ’Fakta,’ Anda akan melihat dengan jelas pernyataan bahwa dokumen-dokumen, ritual-ritual, organisasi, karya seni, dan arsitertur dalam novel seluruhnya eksis. Halaman “FAKTA” tidak membuat pernyataan apapun mengenai suatu teori kuno yang didiskusikan para karakter fiksi. Penafsiran ide-ide tersebut diserahkan kepada pembaca.” 

4. Sarjana Posmodernisme berupaya merestorasi kesenian pada referensi eksternalnya. Teks tidak memiliki makna yang terpisah dari konteks, menolak ide bahwa karya seni sesuatu yang terisolasi, dan privilasi obyek. Menghubungkan seni dengan pelbagai realitas lain, termasuk isu moral dan spiritualitas. Pandangan ini tampak dalam TDVC. Ia bukan sekedar sebuah cerita fiksi, tapi dikait-katkan dengan beragam bidang lain: agama, moral, sejarah, arsitektur, feminisme, paganisme, dan lain-lain. 

5. Posmodernisme menolak keabsolutan moral, keagamaan, dan estetika. Realitas dipandang sebagai konstruksi sosial. Dengan falsafah demikian maka Brown menolak dan menyerang otoritas Alkitab, iman ortodoksi, dan gereja. Brown menyikapi “agama” secara skeptis dan relatif dengan memandang dirinya sebagai murid dari beragam agama, dan menurutnya nilai utama agama terletak pada diskusi dan dialog terbuka yang akan memperkaya pemahaman masing-masing. Komentar demikian dapat dilihat pada websitenya, www.danbrown.com Sikap penulis yang skeptis dan relatif nampak jelas dalam karakter para tokoh dalam TDVC. 

6. Penganut Posmodernisme menolak status atau hak istimewa karya seni, perbedaan antara yang artistik dan tidak. Dengan prinsip demikian Brown mempermainkan karya-karya Leonardo DaVinci dan ketenaran lain dalam bidang seni. 

7. Kaum Posmodernis meminimalkan peran artis dan memberi tekanan pada pembaca. Tidak ada arti otoritatif tunggal yang ditentukan oleh artis dan siapapun. Para pembaca yang menentukan makna dari sebuah buku, apakah dianggap penting
atau tidak. Semua ini bukan untuk mencari yang obyektif tapi impak yang subyektif. Dalam websitenya, Brown menyerahkan pemaknaan hasil percampuran data, fiksi, dan kebohongan dalam novelnya kepada para pembaca. 

8. Posmodernisme secara bebas memperlakukan masa lampau. Ini berbeda dengan kaum modernis yang melihat masa lampau tidak relevan. Dengan pandangan demikian, sebagai anak zaman Posmodernisme, Brown mempermainkan masa lampau tentang sejarah gereja menurut kehendak yang subyektif dan selera zaman. Brown memiliki tujuan agar pembaca menafsirkan kembali sejarah dari kacamata penafsir masa kini, lalu terbuka terhadap semua dialog, untuk meningkatkan keimanan masing-masing (lihat websitenya). 

9. Posmodernisme memiliki pelbagai variasi, namun memiliki kesamaan, yakni menolak kediktatoran pemikiran masa lampau, “cerita-cerita” besar itu dipandang menindas “cerita-cerita kecil,” mereka berpihak pada kekhasan dan keunikan. Novel TDVC membela bahkan merayakan paganisme, Gnostisisme, ritual bersifat seksual, feminisme, dan lain sebagainya. Tampak jelas bahwa novel ini memuja-muja Feminisme dengan istilah "sacred feminine" dan pengagungan penyembahan dewi paganisme. Novel ini juga berjiwa New Age yang menolak iman Kristen dan mempromosikan semangat kekafiran. 
Secara relatif Posmodernisme memiliki dampak positip (misal HAM, demokrasi), namun juga memiliki kelemahan dan bahaya. Misal, cara pandang yang memberhalakan konstruksi intelek dengan dekonstruksinya. Falsafahnya menjadi ”Tuhan” yang bersifat absolut dan menjadi tolok ukur, namun di sisi lain, jika dikenakan pada falsafahnya, berarti menyangkal diri sendiri atau ”bunuh diri” (bd. Kel. 20:4; Rom. 1:25).

Cara berfikir Posmodernisme juga melakukan ketidakadilan dengan menutup mata terhadap kebusukan-kebusukan dalam “cerita kecil,” misalnya prasangka ras, demokrasi liar yang mengatasnamakan ”suara rakyat adalah suara Tuhan” yang menimbulkan anarki dan kehancuran tatanan sosial.


Kesimpulan
Menyikapi novel TDVC – juga novel-novel yang bernafaskan Posmodernisme – orang beriman tidak perlu takut, lalu bersikap reaktif, seolah-olah Tuhan tidak dapat membela diriNya. Sebaliknya, orang beriman juga tidak boleh bersikap cuek, masa bodoh, dan tidak berbuat apapun tentang imannya yang sedang ”dipertanyakan” oleh orang lain.

Bersikap sangat akomodatif, terlarut dengan falsafah zaman ini, akan menghasilkan kehidupan Kristen yang serupa dengan dunia. 

Sebab itu, orang beriman seharusnya setia merenungkan dan mempraktekkan firman Tuhan dalam lingkup pribadi, komunitas orang percaya, serta berbangsa-bernegara. Orang Kristen sepatutnya menggumuli imannya di tengah tanda-tanda zaman dan ”memberi jawab” (apologi) bagi orang yang meminta pertanggungjawaban atas imannya. Dengan demikian orang beriman akan memuliakan Tuhan. Soli Deo Gloria!


Referensi: 
Brown, Dan. The Da Vinci Code. 
Hank, Hanegraaff, and Paul, Maier. The Da Vinci Code: Fact or Fiction?
McDowell, Josh. ”Personal Unedited Research.”
Olson, Carl E. – Miesel, Sandra. The Da Vinci Hoax.
Pagels, Elaine. The Gnostic Gospels.
Robinson, James M. The Nag Hammadi Library In English. 
Sharan, Newman. The Real History Behind the Da Vinci Code. 
Veith, Jr., Gene Edward. Postmodern Times.
Witherington III, Ben. Menjawab The DaVinci Code.
Yamauchi, Edwin M. “Gnosticism: Has Nag-Hammadi Changed Our View?”