ARTIKEL

20

Sep 18

Datang Menyembah Dia

Matius 2:1-12

Pdt. Ruslan Christian

Natal (perayaan kelahiran Tuhan Yesus ke dunia) masa kini bukan lagi perayaan eksklusif orang Kristen, tetapi menjadi milik dunia yang mengglobal saat ini. Natal bukan hanya disemarakkan oleh gereja, tetapi juga oleh berbagai mal, restoran, perusahaan, sekolah, hotel, instansi, dan lain sebagainya. Perayaan di bulan Desember ini sering diidentikkan sebagai solidaritas pada anak-anak penghuni panti asuhan dimana mereka dijamu makan minun, diberi hadiah boneka dan bingkisan, serta dihibur dengan berbagai tarian. Momen Natal juga tidak jarang disamakan dengan membuat kemeriahan, misalnya, kejutan dengan rekor dekorasi pohon Natal terbanyak atau ukuran terbesar. Masih ada sederet panjang gemerlap Natal yang bisa kita sebutkan.
Orang Kristen juga tidak kebal terhadap pengaruh era globalisasi yang berspirit posmo saat ini. Natal kehilangan makna dan penghayatannya menjadi sekedar momen bersibuk-ria untuk membuat show spektakuler serta dihadiri oleh “umat” yang banyak. Lalu kita berpuas diri karena sudah menyelesaikan sebuah program dan acara yang “sukses” karena meriah dan semarak.
Namun, apakah Natal identik dengan sekedar suatu perayaan dan kesemarakan? Apakah Natal hanya sekedar perayaan dan peringatan? Hanya berkaitan dengan ritual dan acara lahiriah semata? Ataukah menyangkut relasi sejati dan batiniah kita dengan Sang Juruselamat? Kedalaman penghayatan dan ketaatan kita kepadaNya? Mari kita menyimak kembali “perayaan” Natal pertama yang dirayakan para majus dalam Injil Matius pasal dua.
Perayaan Natal Dalam Konteks Zaman Ini. Kesemarakan Natal masa kini yang sarat dengan aroma entertain dan bisnis patut kita pahami latar belakangnya. Budaya kapitalisme, komersialisme, hedonisme merupakan konteks dominan dari fenomena zaman ini, termasuk di dalam merayakan Natal. Bagaimanakah tren zaman ini, khususnya dalam falsafah dan gaya hidup, dapat muncul sedemikian mengental?. 
Ciri menonjol dalam era purna-modern adalah terwujudnya “realitas semu” atau “hyperreality.” Inilah zaman yang serba melampaui batas, menuju titik “hyper,” termasuk di dalamnya hiperkomunikasi dan hiperseksualitas. Padahal segala sesuatu yang melampaui titik batas akan menuju penghancuran diri sendiri. Apa yang

dimaksud realitas semu ini? Ini bukan soal kesanggupan manusia meningkatkan kemampuan teknologisnya, misal dalam bidang medis dengan sistem pencangkokan organ tubuh manusia, melainkan menciptakan “duplikat” manusia. Duplikat manusia yang dimaksud adalah manusia berusaha membuat ilusi, fantasi, khayalan, memori, ilusi, halusinasi menjadi se-riil mungkin. Hal-hal tersebut direkayasa sedemikian menarik dan intens sehingga manusia berupaya hidup di dalamnya. Khayalan menjadi “realita.” Beberapa tahun yang lalu game dan film “Final Fantasy” menampilkan mode rambut “saghy” para tokohnya, yang akhirnya menjadi tren di dunia nyata. Popularitas film seri “Meteor Garden” dengan para tokohnya yang berambut ala saghy semakin memperkuat realita di masyarakat. Beragam segi ilusi film tersebut juga tampil dalam realita al. latar panggung penyanyi di TV, kerlap-kerlip lampu restoran dan hotel, dan sebagainya. 
Muncul pertanyaan apakah media, seperti TV, film, internet, games, dan yang lainnya merupakan pantulan dari masyarakat ataukah sebaliknya masyarakat menjadi pantulan dari media. Nampaknya yang kedua cukup dominan dalam budaya zaman ini. Manusia menjadi penonton pasif dan dikontrol oleh beragam citra dan ilusi. Modus dan intensitas kekerasan yang menggila zaman ini telah marak dalam beragam film. Ajang tontonan beragam kontes dan sinetron yang serba wah mendorong masyarakat untuk mengadaptasinya dalam dunia nyata. Begitu pula dengan “gelombang Korea” atau K-Pop yang melanda dunia sedang membentuk falsafah dan gaya hidup manusia zaman ini. 
Mengapa realitas semu tersebut semakin mengental pada masa kini? Ada dua faktor dominan yang memunculkannya: kemenangan filsafat ekonomi Liberalisme dan lonjakan teknologi informasi dan komputer. Pertama, kemenangan sistem ekonomi Liberalisme. Sejarah ekonomi dunia ini ditentukan oleh hasil persaingan filsafat ekonomi Liberalisme versus Sosialisme. Benih filsafat ekonomi Liberalisme dimulai dari John Locke (1632-1704) yang menjunjung tinggi hak milik pribadi. Lalu Adam Smith (1723-1790) mengajarkan dengan gigih tentang pasar bebas. Persaingan kedua filsafat tersebut dimenangkan oleh Liberalisme dan kehancuran sistem ekonomi Sosialisme Komunisme. Sebab itu kita melihat sistem kapitalisme menguasai perekonomian
dunia dan dampak mencolok tampak pada nilai, tujuan dan gaya hidup manusia zaman ini.
Pengaruh filsafat kapitalisme yang menggurita dan menjadi tren kuat mendorong agar produk dan komoditas harus selalu baru dan berubah. Kecepatan perubahan ini sudah mustahil bisa dikendalikan. Mulai dari aspek makanan, minuman, pakaian hingga teknologi harus terus berubah demi pertumbuhan dan keuntungan ekonomis. 
Kedua, kemajuan teknologi komunikasi dan komputer. Tidak ada yang tetap dari produk teknologi dan komputer pada masa kini. Sesuatu yang baru muncul dalam sekejap juga akan menjadi usang, harganya terus merosot dan bukan menjadi primadona seperti saat ia muncul. Jika pada masa silam telpon rumahan menjadi barang mewah, maka ia menjadi “biasa” dengan munculnya sistem handphone yang mobile. Selanjutnya modifikasi dan akselarasi perubahan yang sangat cepat memungkinkan telpon genggam dipadukan dengan fungsi kamera, foto, radio, email, internet, layar TV, pemutar film, alat navigasi, dan beragam kemungkinan yang akan terus terjadi. Perubahan di dunia teknologi dan komputer juga sudah mustahil diketahui batas akhirnya. 
Akibat faktor kapitalisme dan lonjakan teknologi ini, filsafat dan gaya hidup zaman ini didominasi oleh: materialisme, hedonisme, konsumtifisme, dan ekstase komunikasi. Materialisme berarti sebuah pandangan etika yang melihat nilai paling berharga dan tertinggi hanya pengejaran kekayaan dan kepuasan sensual. Hedonisme (dari kata Yunani. H?don?, kesenangan) adalah paham bahwa kesenangan dan kebahagiaan merupakan satu-satunya dan yang utama dalam hidup ini. Ia juga suatu gaya hidup (a way of life) yang didasarkan pada prinsip hedonism. Konsumtifisme berarti kecenderungan mengkonsumsi atau dipengaruhi oleh konsumsi. Gaya hidup dimana seseorang membeli barang bukan karena kebutuhannya tetapi lebih karena kesenangan untuk membeli. Dalam ekstase komunikasi, manusia masa kini tergila-gila dengan beragam media komunikasi, misal handphone/smartphone, beragam perangkat tablet masa kini, internet, dan lainnya, bukan demi komunikasi yang lebih meningkatkan kualitas relasi antar umat manusia, tapi berakhir pada tren itu sendiri. Isi komunikasi bersifat dangkal bahkan cenderung tidak mengandung
makna. Semua perilaku tersebut hanya berakhir pada kehampaan hidup. 
Dua faktor dominan di atas telah membentuk falsafah dan gaya hidup manusia zaman ini, tidak terkecuali orang-orang Kristen. Sebab itu tidak heran jika Natal sedang mengalami pergeseran dari makna asalinya. Patutlah kita kembali kepada apa yang diajarkan Alkitab mengenai Natal dan bagaimana kita merayakannya.
Perayaan Natal Orang Majus. Mari kita belajar dari para majus seperti yang tercatat dalam Injil Matius 2. Ada beberapa sikap dan tindakan mereka yang patut kita teladani. Pertama, mereka memiliki kerinduan dan tekad mengikut Kristus. Istilah “Orang majus” (2:1), magoi, beberapa abad sebelumnya dipakai untuk menunjuk golongan imam di Media yang dipandang memiliki kemampuan menafsirkan mimpi. Bandingkan dengan Daniel sebagai kaum magoi di Kerajaan Babilonia (1:20; 2:2; 4:7; 5:7). Lalu pada abad-abad selanjutnya hingga masa Perjanjian Baru (PB), istilah ini mencakup makna yang sangat luas, selain orang yang menafsirkan mimpi, juga astrologi, peramal, dan sejenisnya. Sebagian di antara kaum majus adalah penipu dan dukun (bd. Kis. 8:9; 13:6, 8). Mereka adalah orang-orang yang dianggap memiliki hikmat tersembunyi berdasarkan gerakan-gerakan bintang yang mempengaruhi sejarah dan kehidupan manusia.
Mengapa mereka memiliki kerinduan yang dalam terhadap Mesias dan bertekad mengadakan perjalanan yang sangat jauh untuk bertemu denganNya? Nampaknya karena perhitungan astrologi tentang datangnya Sang Raja berdasarkan kitab-kitab kaum Yahudi. Dengan kata lain, iman yang teguh atas kitab-kitab kaum Yahudi, khususnya Perjanjian Lama (PL). Mereka memiliki kontak dengan kaum Yahudi di pembuangan serta memiliki interes terhadap kedatangan Mesias. Yosefus, ahli sejarah Yahudi, mengatakan bahwa Antiokhus III memindahkan dua juta keluarga Yahudi dari Mesopotamia dan Babilonia ke Lydia dan Frigia di Asia Kecil antara tahun 210 sM – 205 sM. Fakta ini menunjukkan jumlah yang signifikan untuk mempengaruhi lingkungannya. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sampai tahun 250 M masih banyak orang Yahudi – termasuk kaum ningratnya- yang bermukim di Babilonia.
Jadi, mereka mengetahui
bahwa bintang tersebut menunjukkan tentang Mesias karena beberapa penyebab. Pertama, mereka mengetahuinya dari kaum Yahudi yang tinggal di Babilonia setelah Pembuangan dan nubuat PL tentang kedatangan Mesias. Kedua, sebagai ahli perbintangan yang mempelajari manuskrip kuno secara luas, mereka juga mempelajari naskah-naskah salinan PL. Ketiga, mereka menerima wahyu khusus dari Allah yang mengarahkan mereka kepada Mesias. Mereka tidak memiliki semua data tentang Raja tersebut, namun pengetahuan yang mereka peroleh dan bimbingan Allah cukup untuk menuntun mereka menemukan Mesias, Sang Raja.
Matius 2:2, 4-6 mencatat bahwa kaum Majus sebagai orang asing non-Yahudi datang untuk mencari dan menyembah Kristus. Sebaliknya, Herodes juga memiliki antusiasme terhadap Mesias, namun dimotivasi oleh ketakutan bahwa posisinya terancam sehingga ia berniat membunuhNya. Ironisnya, para pemimpin Yahudi – imam kepala dan ahli Taurat - sekalipun memiliki pengetahuan theologis nubuat tentang Raja tersebut, sama sekali tidak memiliki kerinduan akan kedatanganNya!
Kedua, mereka rela berkorban demi mengikut Yesus. Disebutkan bahwa kaum Majus berasal dari “Timur.” Kemungkinan mereka dari Persia, gurun Arab, atau Babilonia. Kemungkinan yang kuat adalah Babilonia, sebab banyak orang Yahudi berdomisili di sana dan memiliki pengaruh pada lingkungannya. Jarak lurus antara Babel dan Yerusalem sekitar 880-1000 kilometer. Namun dalam realitanya, rute tersebut bisa menjadi ribuan kilometer. Mereka rela dan tabah menempuh jarak yang sangat jauh hanya untuk menyambut dan menyembah “Raja” yang datang ke dunia.
Natal bukanlah perayaan murahan sebab Natal adalah kisah perjumpaan dengan Mesias, Sang Raja. Perjumpaan ini memiliki harga yang sangat mahal. Maria dan Yusuf harus meninggalkan tempat kediaman yang nyaman untuk mengungsi ke Mesir demi “bayi” tersebut. Para gembala meninggalkan kenyamanan hidup demi memberitakan kedatangan Sang Juruselamat. Sebagian besar rasul Kristus dan gereja mula-mula membayarnya dengan penderitaan, bahkan mati syahid. Allah Bapa membayar harga dengan mengutus AnakNya untuk mati demi umatNya. Kristus, Sang Mesias datang demi satu tujuan, yakni mati di kayu salib. Sebagai orang
yang mengaku “Kristen,” relakah kita berkorban mengikut Dia yang telah terlebih dahulu mengasihi kita? 
Ketiga, Kristus menjadi pusat penyembahan mereka. Ada yang beranggapan kaum majus ini adalah para raja. Pandangan ini kemungkinan didasarkan pada nas-nas PL yang mengatakan para raja akan menyembah Dia (Lihat Maz. 68:29, 31; 72:10-11; Yes. 49:7; 60:1-6). Tradisi sering menggambarkan bahwa kaum majus ini adalah “tiga” orang (pada akhir abad ke enam dinamakan: Melkon/Melkhior, Balthasar, dan Gasper, sedangkan Matius tidak menyebut nama mereka) yang kemungkinan dipengaruhi oleh “tiga” macam hadiah mereka (2:11). Melalui nas ini jelas bahwa mereka bukan rakyat biasa melainkan kaum cendekiawan dan ningrat. Mereka bertekad melaksanakan perjalanan jauh dan mempersembahkan hartanya kepada Sang “bayi lemah.” Sekalipun mereka adalah kaum intelektual dan bangsawan, mereka rela menundukkan diri di bawah kaki “bayi Yesus” yang tampak hina. Semua itu mereka lakukan karena mereka mengenal dengan benar dan jelas bahwa bayi lemah itu adalah Mesias, Sang Raja Kekal. Pengenalan yang benar akan Tuhan akan menuntun pada penyembahan kepadaNya. Tidak mudah di saat kita dalam kelimpahan harta, uang, kesehatan, kedudukan, kuasa dan kesuksesan lainnya mau datang merendahkan diri di hadapan Tuhan. Para majus di tengah kejayaannya datang untuk menyembah Yesus, Sang Bayi dan Raja.
Mesias disebut dan disembah sebagai “Raja” sejak kelahiranNya ke dunia. StatusNya ini tidak dikenakan kepadaNya menanti saat yang kemudian, tetapi langsung sejak kelahiranNya. Kedatangan Kristus sudah dinubuatkan berabad-abad sebelumnya bahwa Ia akan datang dalam garis keturunan Daud. Dia adalah Raja sejak kekal hingga kekal. Gelar “Raja” juga dituliskan pada kayu salibNya (27:37).
Saat para majus melihat bintang yang menuntun mereka kepada bayi Yesus, mereka “sangat bersukacita” (2:10), yakni sukacita yang sangat besar (Thayer). Mereka menyembah Bayi Raja tersebut bukan dengan tangan hampa, tetapi dengan mempersembahkan emas, kemenyan dan mur (2:11). Memberi persembahan saat menghadap orang yang superior merupakan hal penting pada zaman itu. “Emas”
adalah logam para raja. “Kemenyan” adalah getah yang memiliki bebauan sedap yang diimpor dari Arab dan digunakan para imam saat beribadah di Bait Allah (Im. 2:1, 2, 15-16). “Mur” adalah getah yang wangi, semerbak, digunakan sebagai bahan pengobatan (Mark. 15:23), parfum (Maz. 45:8; Ams. 7:17), dan untuk membalsem tubuh orang mati (Yoh. 19:39). Ada yang melihatnya sebagai simbol bahwa Kristus adalah Raja yang benar, Imam Besar yang sempurna, dan Juruselamat yang Mahatinggi.
Penyembahan para majus pada Natal pertama sangat berbeda dengan Natal masa kini. Kaum majus datang dengan sukacita, menyembah dan memberi persembahan sangat berharga kepadaNya. Sebaliknya kecenderungan masa kini, mengharapkan Allah yang datang melihat kita, menjelaskan dan membuktikan siapa Dia, dan memberi kepada kita berkat materi. Orang yang bijaksana adalah mereka yang menyambut Natal bukan berdasarkan berkat jasmani semata atau kenikmatan sesaat, melainkan lebih menghormatiNya karena mengenal siapa Dia.
Keempat, memiliki ketaatan yang berkesinambungan. Setelah kaum majus bertemu dengan Yesus, Sang Raja, ayat 2 mengatakan mereka “diperingatkan dalam mimpi” untuk tidak kembali kepada Herodes (2:12). Kata kerjanya berarti transaksi bisnis, kemudian menasehati, memberi pertimbangan, memberikan jawaban, dari hakim atau firman (Roberston). Bisa juga berarti memberi respon terhadap seseorang yang memintanya. Sebab itu dalam bentuk pasif di sini berarti menerima suatu jawaban. Istilah ini menunjukkan bahwa kaum majus telah memohon bimbingan Allah dan mereka menerima jawabannya dalam mimpi.
Peringatan dari Allah tidak mereka abaikan, melainkan mereka taati dengan sepenuh hati sebagaimana terhadap pimpinan Allah sebelumnya. Rute kembalinya mereka ke tempat asalnya tidak jelas, kemungkinan menuju ke wilayah utara Laut Mati, dengan menghindari Yerusalem (tidak menemui Herodes), atau mereka ke arah selatan lalu berputar menuju ke jalan yang kasar dekat pantai dan selanjutnya ke utara melalui Nazareth, Kapernaum, dan Damsyik. 
Ketaatan bukanlah pilihan sesaat, melainkan ketaatan hingga akhir hayat sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus. Ia taat hingga akhirnya, yakni mati
di kayu salib untuk menjadi korban tebusan. Para majus ini adalah orang-orang yang terus menaati pimpinan Tuhan bagi mereka.
Natal bukan sekedar ritual tradisi Kristen atau momen kemeriahan sesaat yang dilakukan setiap bulan Desember. Natal adalah soal relasi kita dengan Yesus, Sang Juruselamat dan Raja Kekal. Relasi yang hanya bisa diwujudkan melalui karya Roh Kudus di hati kita sehingga kita memiliki kerinduan dan tekad yang murni mengikut Dia. Ketaatan yang bersedia membayar harga karena menjadi murid Yesus dan demi mempermuliakan namaNya. Ketaatan yang berlangsung hingga akhir hayat kita di bumi yang fana ini. Selamat Hari Natal, kiranya Tuhan memberkati kita.

Referensi:
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Barton, Bruce B. Matthew. Life application Bible commentary. Wheaton, Ill.:
Tyndale House Publishers, 1996.
Gaebelein, Frank E., D. A. Carson, Walter W. Wessel and Walter L. Liefeld.