ARTIKEL

21

Sep 18

Apakah Manusia sehingga Engkau Mengingatnya?

Mazmur 8:1-10

Pdt. Ruslan Christian

 Ada berbagai pertanyan penting di dunia ini, salah satunya adalah “siapakah manusia itu?” atau “siapakah diri saya?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita bisa membangun gambaran tentang manusia dan diri kita paling tidak dari beberapa sumber. Pertama, dari diri kita sendiri. Kita berkecenderungan kuat membangun citra diri berdasarkan figur “pahlawan” yang kita kagumi dalam hidup ini. Kita berusaha menyisipkan kepingan-kepingan para hero tersebut ke dalam diri kita. Entah itu figur tokoh agama, politik, negarawan, bahkan selebritas terkenal, dan lain sebagainya. Kedua, kita menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan apa “kata orang.” Jika keyakinan tentang manusia berdasarkan evolusionisme, maka kita akan memandang diri kita sebagai makhluk yang sedang dalam proses evolusi dan dunia ini adalah ajang pertarungan untuk bertahan hidup atau menjadi pemenang. Jika kita meyakini bahwa kita hanyalah terdiri dari atom-atom yang pada saat kematian akan lenyap, maka kita tidak perlu memiliki tanggung jawab moral, sosial dan spiritual. Ketiga, pandangan dari TUHAN sebagaimana yang tertulis dalam firmanNya. Inilah pandangan yang benar dan dapat diandalkan sebab Dia adalah Sang Pencipta yang paling mengenal siapakah manusia itu. Kita dapat mengenal diri kita melalui firmanNya. Semakin kita mengenal Allah dan firmanNya maka semakin baik kita mengenal siapa diri kita. 
Salah satu bagian Alkitab yang dengan gamblang menjelaskan siapakah manusia adalah Mazmur 8. C. S. Lewis menyebut Mazmur 8 ini suatu “lirik pendek, yang sangat indah.” Mazmur Daud ini adalah sebuah hymne pujian dan juga dikenal sebagai Mazmur Penciptaan. Ada yang mengatakan mazmur ini sebagai bentuk campuran antara mazmur pujian, hikmat, dan ratapan. Namun tampaknya mazmur ini tidak dapat ditentukan kategorinya secara tepat. Jika mazmur ini termasuk mazmur untuk ibadah maka kemungkinan dinyanyikan saat Perayaan Tabernakel. 
Judul pada ayat 1 menunjukkan bahwa mazmur ini biasa digunakan saat umat Israel beribadah di Bait Suci. Dalam kekristenan mazmur ini secara tradisional dikaitkan dengan ibadah memperingati Hari Kebangkitan Kristus. 
Mazmur

ini terkait erat dengan kitab Kejadian khususnya tentang penciptaan dan kedudukan manusia di tengah ciptaan. Inti dari Mazmur 8 ini tentang keagungan Allah dan tempat manusia dalam alam semesta ciptaan Allah. Mazmur yang ditulis Daud ini terdiri dari beberapa bagian. 1). Pujian atas keagungan Allah (ayat 2-3). 2). Rasa ketidakberartian dalam hati manusia (4-5). 3). Manusia sebagai mahkota ciptaan (6-9). 4). Pujian kesimpulan (10). 
Pujian atas Keagungan Allah (2-3). Ayat 2 menyatakan “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.” Allah disapa dengan TUHAN (????, Yahweh) diikuti dengan gelar Tuhan (??????, Adonai). Umat Israel dalam sejarahnya, karena menganggap nama Yahweh begitu sakral untuk diucapkan, maka mereka menyapaNya dengan kata “Adonai.” Demikian pula dalam bentuk tertulisnya, ketika kaum Masoretes menyalin naskah Perjanjian Lama, mereka memakai konsonan dengan kata Adonai untuk menunjuk nama YHWH. 
Kata nama-Mu menunjukkan bukan hanya pribadi Allah tetapi juga pewahyuan diriNya. Istilah nama-Mu dan KeagunganMu adalah sinonim dalam bentuk puisi, menyatakan pribadi Allah dan pewahyuanNya melalui ciptaan. Sekalipun ciptaan mengekspresikan kemuliaanNya, mewahyukan eksistensiNya, dan kemahakuasaanNya, namun yang berada di balik semua itu adalah Allah sendiri. 
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa pujian dan penyembahan yang benar kepada Allah hanya dapat timbul dalam hati yang diterangi oleh wahyu Allah. Melalui wahyu umum (alam semesta) maupun wahyu khusus (firmanNya) hati kita diperhadapkan dengan keagungan Allah sehingga dapat melahirkan pujian kepadaNya. 
Ayat 3 berkata, “Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.” Ada dua kontras di sini antara kelompok bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu dibandingkan dengan kelompok musuh dan pendendam. Kata bayi-bayi menyimbolkan kelemahan dan kerendahan hati manusia, namun mereka memiliki kekuatan yang lebih besar daripada musuh-musuh Allah. Kekuatan itu terletak pada Allah yang mereka percayai. Ini kelompok orang yang mengenal wahyu dan keagungan
Allah, serta memberitakannya. Allah memakai yang lemah di mata dunia untuk menyatakan kuasaNya dan untuk membungkam para musuh Allah. Paulus berkata kepada jemaat di Korintus bahwa Allah memilih dari dunia ini orang-orang yang dianggap remeh sebagaimana kebanyakan anggota jemaat Korintus. 
Sebaliknya istilah musuh dan pendendam menyimbolkan kekuatan manusia dalam kecongkakan dan penonjolkan dirinya. Esensi dari musuh Allah adalah mereka yang tidak mengenal nama Allah dan wahyu Allah sehingga tidak memuji Allah. 
Allah memilih dan memanggil orang yang lemah menurut dunia ini. TujuanNya adalah untuk menyatakan bahwa jalan Allah bukan jalan manusia serta tidak terselami oleh manusia. Tujuan lainnya, agar kita tidak menyombongkan diri di hadapan Allah. Puji-pujian kepada Allah hanya muncul dari orang-orang yang menyadari kelemahannya serta bersandar pada Dia. Sebaliknya, orang-orang congkak yang tidak percaya kepada Allah, bukan saja tidak memujiNya tetapi juga mencemoohkanNya. 
Rasa Ketidakberartian Manusia (4-5). Dalam ayat 4 pemazmur menyatakan, ”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan.” Kemungkinan besar ungkapan ini lahir dari ingat-ingatan Daud semasa ia di padang penggembalaan pada siang hari dan juga malam hari saat ia memandang bintang-bintang di langit. 
Di bawah cakrawala luas pada siang dan malam hari tersebut, pemazmur menyadari di dalam batinnya betapa kecil dan tidak berdayanya ia. Selanjutnya, ia menyadari bahwa Allah lah yang lebih besar dan Pengontrol atas ciptaan yang sangat besar ini. Hingga kini wahyu umum melalui alam tetap menimbulkan ketakjuban dalam sanubari orang yang dengan tulus mengakui adanya Allah. Misalnya, melalui hasil penelitian di angkasa luar tentang planet, bintang, galaksi, dan sebagainya pasti menimbulkan ketakjuban dalam hati kita akan Sang Pencipta. 
Ungkapan pemazmur pada ayat 5, “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?,” adalah pertanyaan yang timbul dari hatinya karena konfrontir dari wahyu umum melalui alam semesta tersebut. Jawabannya, “manusia tidak berarti.” Di tengah-tengah cakwala yang luas dan
ketidakberartian manusia, pemazmur sangat takjub karena Allah sanggup mengingat setiap manusia dan memberi perhatian secara individual, termasuk pada dirinya. Menakjubkan karena manusia dapat menjadi signifikan atau memiliki posisi sentral di tengah-tengah alam semesta yang sangat luas ini. 
Hanya melalui bantuan wahyu umum dan wahyu khusus Allah kita dapat menyadari siapa diri kita. Kita mengenal ketidakberartian kita dan sekaligus mengenal martabat serta signifikansi kita di tengah-tengah ciptaanNya. Kita mengenal keberdosaan kita dan sekaligus mengenal nilai diri kita dalam penebusan oleh Kristus. 
Manusia sebagai Mahkota Ciptaan (6-9). Selanjutnya melalui kesadaran dari penyataan Allah, Daud menulis pada ayat 6, “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” Ada terjemahan yang memakai ungkapan hampir sama seperti Allah menjadi “malaikat.” Hal ini kemungkinan didorong oleh sikap moderat karena dianggap terlalu berlebihan jika mengklaim manusia hampir sama seperti Allah. Namun bagaimanapun juga, terjemahan dengan memakai Allah yang tepat, sebab ini mengalusi pada Kejadian 1-2 bahwa manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, dimana Allah memberikan peran untuk mendominasi alam ciptaanNya kepada manusia. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya dan Ia memberikan mandat budaya untuk menguasai dan mengelola alam serta isinya. Mandat ini bertujuan agar manusia sebagai mahkota ciptaan menjadi raja atau penguasa atas ciptaan yang lebih rendah untuk membawa semuanya untuk memuliakan Allah. 
Perkataan pemazmur dalam ayat 7-9 mengungkapkan kekuasaan manusia atas seluruh ciptaan secara luas, khususnya atas beragam jenis hewan. Kekuasaan manusia atas ciptaan yang lebih rendah dari dirinya merupakan refleksi Daud akan Kejadian 1:26 yang menyatakan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, baik pria maupun wanita. Mereka lebih rendah daripada Allah, namun diberi kekuasaan oleh Allah atas alam dan isinya. Manusia memiliki kuasa terbatas dan diturunkan dari Allah, sedangkan kuasa tidak terbatas ada pada Allah sebagai sumber segala kuasa. 
Jadi manusia adalah makhluk ciptaan yang kecil
dan tidak berdaya, sekaligus memiliki keagungan karena memperoleh “nafas hidup” dari Allah dan dicipta menurut gambar Allah. Namun sejak kejatuhannya dalam dosa manusia berupaya mendapatkan harga diri dan citra diri bukan berdasarkan nilainya dalam Penciptaan dan Penebusan. Manusia selalu terjebak dalam dua ekstrem: menghina diri atau meninggikan diri. Ayat-ayat di atas mengajarkan pada kita bahwa kita tidak perlu menghina dan mencela diri sehingga mengahadapi kehidupan ini secara pesimis, apatis, dan pasif, sebab kita dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Sebaliknya, dikala kita sukses, memiliki beragam talenta, keunggulan, dan meraih kesuksesan, juga tidak patut menyombongkan diri sebab segala berkat yang kita peroleh berasal dari Dia dan untuk memuliakanNya.
Yesus sebagai Gambar Allah Sempurna. Mazmur 8:5-7 dikutip dalam Ibrani 2:6-8 sebagai nas yang menunjuk pada Kristus, Sang Mesias. Mazmur 8:5-7 menyatakan ketidakberartian manusia dalam alam yang sangat luas, namun dijadikan “hampir sama seperti Allah” karena dimandatkan untuk menguasai bumi dan segenap isinya. Manusia adalah mahkota ciptaan, dicipta menurut gambar dan rupa Allah, dan Allah menjadikan manusia sebagai raja atas ciptaan yang lebih rendah. Berdasarkan anugerahNya, Allah juga mengikat diriNya dalam perjanjian kerja dengan Adam – sebagai kepala umat manusia – agar ia beroleh hidup yang kekal. Allah akan menganugerahkan hidup kekal dalam arti agar Adam dan keturunannya bukan menjadi makhluk yang terikat dengan bumi ini tetapi masuk lingkup rohani-surgawi untuk tinggal bersama Allah selama-lamanya (Bavinck). Kewajiban Adam-Hawa adalah hidup dalam ketaatan sepenuhnya kepada Allah. 
Apa yang terjadi kemudian? Manusia jatuh dalam dosa dan mengalami maut, kematian rohani dan terpisah dari Allah. Manusia yang kecil di tengah-tengah alam semesta menjadi sungguh-sungguh rendah dan hina akibat dosa dan maut. Manusia terpisah dari Allah, dijauhkan dari hadirat Allah. Manusia juga gagal menjadi penguasa atas alam dan segenap isinya (sekalipun manusia sebagai gambar Allah dalam arti umum masih menguasai alam tetapi secara hakiki telah gagal untuk
memimpin dan membawa ciptaan untuk memuliakan Allah). Menurut kitab Ibrani manusia hidup dalam ketakutan akan kematian sebagai akibat dosa dan kematian menjadi alat teror Iblis atas manusia. Manusia hidup tanpa pengharapan dan mutlak membutuhkan Penebus (Imam Besar dan korbanNya) dan Kepala umat yang baru (Adam kedua). 
Ibrani 2:6-8 menjelaskan penggenapan Mazmur 8:5-7 pada pribadi dan karya Kristus. Manusia rendah di tengah alam yang luas juga menjadi rendah-hina akibat diperhamba oleh dosa dan maut. Demikian pula dengan Kristus, “untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat” (Ibr. 2:9), dalam arti Ia menjadi sama dengan manusia berdosa, namun Ia tidak berdosa. Ia menjadi “darah dan daging” atau berinkarnasi ke dalam dunia untuk menyelamatkan umat pilihanNya. Ia lebih rendah untuk sementara daripada para malaikat, bahkan rela mati di kayu salib – kematian paling hina – demi menjadi tebusan bagi umatNya. 
Manusia yang semula diberi kuasa atas bumi atau sebagai raja atas ciptaan yang lebih rendah telah gagal melaksanakan mandat Allah. Dosa menimbulkan kematian rohani, perpisahan dari Allah, merusak hati manusia dan relasinya dengan sesama, juga merusak segenap karyanya. Dosa menimbulkan maut yang membatasi waktu hidup manusia di dunia ini. Manusia gagal menjadi penguasa atas alam yang lebih rendah. Sebaliknya, Kristus yang direndahkan untuk sementara dengan mati di kayu salib, telah menjadi “Pionir,” “Adam Kedua,” yang menjadi Penguasa kekal. Surat Ibrani menyatakan beberapa keunggulan Kristus yang tidak tertandingi. Pertama, sebagai Adam Kedua, Kristus sepenuhnya menaklukkan diri di bawah kehendak Bapa, bahkan hingga mati di salib. Ia sepenuhnya menaati hukum Allah. Sebab itu Ia berhak menjadi Kepala atas umat pilihanNya. Kedua, Ia juga menyelesaikan persoalan dosa manusia dengan menjadi korban tebusan bagi umatNya dan menjadi Imam Besar bagi mereka. Ketiga, Ia mengalahkan maut melalui kematian-kebangkitan-kemuliaanNya. Ia adalah Penguasa atas dunia yang akan datang yang bersifat kekal. Penghancuran atas kuasa maut dan Iblis
sudah terjadi dan akan digenapi secara pasti dan sempurna di masa yang akan datang. Bd. 1 Kor. 15:27; Ef. 1:22.
Pujian atas Keagungan Allah (10). Mazmur 8 diakhiri dengan ayat 10 sebagai ayat penutup, yang merupakan pengulangan ayat 2, yakni pujian atas keagungan Allah. Ini adalah ungkapan jiwa yang sungguh mengenal Allah. 
“Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya?” Adakah nilai dan harga diri yang sejati dapat kita peroleh di luar Allah dan firmanNya? Tidak! Nilai dan harga diri sejati dapat diperoleh hanya dari Allah dan firmanNya. Dapatkah kita memperoleh arti dan tujuan hidup kita di luar Allah dan firmanNya? Tidak! Arti dan tujuan hidup kita hanya bisa kita peroleh melalui terang firmanNya, yakni untuk menikmati Dia dan mempermuliakan namaNya. Kiranya pengenalan kita akan Dia dan firmanNya semakin menuntun kita untuk mengenal diri kita dan mempermuliakan Allah Tritunggal yang Agung. 

Daftar Pustaka:
1. Boice, James Montgomery. Psalms. Grand Rapids, Mich.: Baker Books, 2005.
2. Craigie, Peter C. Word Biblical Commentary. Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2004.